Tiga Putri Soekarno di Pusaran Pilgub DKI


Menjelang pemilihan umum 4 Mei 1982, lima anak presiden pertama Republik Indonesia Soekarno, berkumpul di sebuah rumah di Jalan Sriwijaya Jakarta Selatan. Mereka Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra, bersepakat untuk tidak terlibat aktif dalam organisasi atau partai politik.
Tapi, kesepakatan itu hanya berlangsung kurang dari 10 tahun karena Guruh dan Mega kemudian menyatakan diri bergabung dengan PDI. Rachma berang karena dia berpikir anak-anak Soekarno hanya dijadikan alat untuk menggaet suara saja. Lagipula kesepakatan di Sriwijaya dilatarbelakangi pemikiran bahwa tidak ada satu pun partai politik yang memperjuangkan dan meneruskan semangat marhaenisme, seperti PNI 1952.
Pada Pemilu 1992 Mega dan Guruh hadir di setiap kampanye PDI dan kehadiran mereka mampu mendongkrak perolehan suara PDI. Dari hanya memperoleh kursi 40 pada Pemilu 1987 melonjak menjadi 56 kursi.
Sejak itu, Mega masuk ke dunia politik melalui PDI dan terpilih sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Di tahun itu pula perempuan kelahiran 23 Januari 1947 itu terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Dia terpilih sebagai ketua umum PDI enam tahun kemudian yang kemudian menyebabkan pemerintah Orde Baru murka dan mendongkelnya dari kursi ketua umum pada Kongres Medan 1996. Soerjadi yang terpilih dalam Kongres Medan merebut paksa kantor DPP PDI di jalan Diponegoro 58. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan kerusuhan 27 Juli atau "Kuda Tuli".
Karier politik Mega semakin moncer setelah Orde Baru tumbang. Dia mendirikan PDIP dan partainya menjadi pemenang Pemilu 1999 tapi Mega tidak terpilih sebagai presiden. Barulah pada 23 Juli 2001, Megawati naik menjadi orang nomor satu di Indonesia menggantikan presiden Abdurahman Wahid.
 
Sejak Mega dan Guruh, hubungan kelima anak Soekarno itu merenggang bahkan sampai sekarang. Rachma bahkan secara terbuka menyerang Mega di media terutama sejak Mega dan PDIP berhasil mengantarkan Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia, dua tahun lalu.
"Megawati itu sudah antek kapitalis. Bagaimana konsesi politik dagang, sumber daya sudah dibagi-bagi dalam pemerintahan Jokowi-JK," kata Rachmawati..
Menjelang Pilkada DKI 2017, hubungan Rachma dengan Mega dan Sukma juga kembali memanas. Mega dan Sukma berada di kubu untuk mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sedangkan Rachma mendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Rachma juga terang-terangan mendukung Aksi Bela Islam untuk menuntut Ahok diadili. Sebelum Aksi Bela Islam II , 4 November 2016, dia bahkan mendatangi markas FPI di Petamburan untuk bertemu Habib Rizieq.
Rachma memang berbeda dengan Mega. Sejak Mega dianggap membelot dari kesepakatan di Sriwijaya, Rachma lebih memilih jalur pendidikan melalui Yayasan Pendidikan Soekarno. Dia konsisten mengembangkan ajaran Soekarno melalui jalur pendidikan dan jalur aktivis.
Pada 2002, perempuan kelahiran Jakarta, 27 September 1950 itu mencoba peruntungan di dunia politik dengan mendirikan Partai Pelopor. Partai ini sempat mengikuti dua kali pemilihan umum, pada 2004 dan 2009.
Belakangan, Rachma pindah ke partai NasDem tapi dia dipecat karena kerap mengkritik Jokowi yang saat itu masih menjadi capres. Keluar dari NasDem, dia pindah ke Partai Gerindra dengan jabatan Wakil Ketua Umum Bidang Ideologi. Dan setahun belakangan, Rachma aktif mengikuti beberapa pertemuan aktivis yang mengkritik pemerintahan Jokowi. Karena kegiataannya itu, polisi menangkapnya dengan tuduhan hendak melakukan makar, tapi dia membantah tidak mungkin melakukan makar.
Dibandingkan kedua kakaknya yang malang-melintang di dunia partai politik, Sukma justru lebih asyik menekuni bidang seni. Walaupun, akhirnya dia mendirikan partai pada 20 Mei 1998 bersama Supeni, tapi partainya tak tidak lolos ambang batas parlemen. Tanggal 4 Juli 2000, Sukmawati Soekarno terpilih menjadi ketua partai dan mengubah nama partai menjadi PNI Marhaenisme.
Nama Sukma kembali menarik perhatian media, setelah Juni lalu dia melaporkan Habib Rizieq ke Bareskrim. Sukma merasa tersinggung karena ucapan Rizieq yang menyebut, "Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila piagam Jakarta ketuhanan ada di kepala" yang beredar dua tahun lalu dalam rekaman video. [beritaislam24h.net / rnc]
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tiga Putri Soekarno di Pusaran Pilgub DKI"

Post a Comment