
Yang jelas, aksi ini berlangsung tertib, dengan pesan yang jelas, dan
semua puas. Tuduhan media dan segelintir orang yang memprediksi aksi ini
dengan pelbagai sentimen negatif lagi-lagi tidak terbukti.
Lalu, bagaimana media-media barat merespons Aksi Damai 212? Para
peneliti dari Australia yang menulis buku Media Framing of the Muslim
World, yaitu Halim Rane, Jacqui Ewart, dan John Martinkus, menyatakan
mayoritas media barat melakukan framing terhadap dunia Islam dengan
narasi kekerasan, fanatisme, ekstremisme, dan memusuhi peradaban barat.
Ini selalu disematkan dalam hampir setiap pemberitaan serta menegasikan
kekayaan multikultural, etnis, dan pengalaman berislam dari umat Islam
di negara-negara lain. Benar bahwa ada kekerasan yang membonceng doktrin
Islam, ada aksi terorisme yang menyatut simbol-simbol Islam, ada
ideologi yang mencampur-adukkan prinsip-prinsip dalam Islam.
Tapi melakukan framing secara parsial dapat menimbulkan bias dan
kerancuan dalam interpretasi suatu peristiwa. Sikap yang bijak justru
ditunjukkan oleh Paus Fransiskus yang menyatakan, "If I speak about
Islamic violence, I need to speak about Catholic violence."
Rangkaian kata itu merupakan respons Paus terhadap pembunuhan seorang
pendeta Katolik Roma di Normandy, Perancis, pada 16 Juli 2016.
Mengidentifikasi Islam dengan kekerasan adalah fallacy (kekeliruan).
Menurut Paus, orang yang melakukan kekerasan ada di dalam setiap agama.
Sikap Paus ini sebenarnya memberikan contoh framing yang berimbang. Tapi
tentu ini tidak menarik bagi media, sebab terdapat kredo yang mahsyur,
yakni bad news is (always) good news.
Pemberitaan media barat
Jika kita mengambil sampel beberapa media global yang mengkover berita
Aksi Damai 212, kita akan mudah menemukan narasi-narasi yang disebutkan
oleh Halim Rane, Jacqui Ewart, dan John Martinkus dalam buku mereka.
Sebagai contoh, dua hari sebelum Aksi Damai 212 dilaksanakan, yakni pada
30/11, TIME menaikkan berita dengan judul “Hardline Islamist Protests
In Indonesia Are Spreading Fear Among the Minority Chinese” yang intinya
mengupas rumor potensi kerusuhan 1998 terulang.
Dalam berita ini ada porsi kerusuhan pada Aksi Damai 411 yang diangkat.
Tanpa melihat latar belakang kerusuhan 1998 dan kondisi kekinian para
peserta Aksi Damai 212, TIME menyambung-nyambungkan kedua kejadian
menjadi satu rumor: kerusuhan etnik berpotensi terulang.
Sementara Voice of America (VOA) justru berfokus dengan tajuk
oportunisme Front Pembela Islam (FPI) dalam merebut hati warga Luar
Batang dan Pasar Ikan yang tergusur oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta. Ada kepentingan lain yang dibawa oleh masyarakat ini dalam Aksi
Damai 212 dan FPI dituding memanfaatkan momen ini untuk mendapatkan
simpati.
Lain lagi dengan CNN yang menggunakan identitas Cina dan Kristen dalam
judul dan //lead// beritanya. Meski jelas di dalam artikel, CNN mengutip
komentar seorang peserta aksi, "It's not about ethnicity or religion.”
"It's a matter of what he has done," ujar Agus yang dikutip CNN.
Para tokoh dalam aksi juga sudah sering menyatakan bahwa bukan urusan
etnis atau agama, tapi murni penistaan. Penggunaan identitas ini
konsisten dilakukan oleh CNN dalam mengkover berita semenjak aksi
pertama kali diselenggarakan.
Aljazeera yang terkadang diharapkan mampu mengadvokasi umat Islam,
justru tidak berbeda dalam melakukan framing. Reporter Aljazeera, Step
Vaessen lebih jauh berujar tentang aksi ini, "An extremely big show of
force by Islamist groups who have been gaining importance in Indonesia
over the years.”
Ia menuding kelompok Muslim konservatif semakin kuat di tataran akar
rumput dan merongrong secular state. Sejak kapan Indonesia jadi negara
sekuler?
Masih banyak lagi media global yang menggunakan narasi negatif untuk
aksi ini seperti The Guardian, BBC, ABC, dan sebagainya. Mayoritas
mereka seperti sepakat menggunakan terminologi yang sama.
Bahkan, nyaris dengan angle pemberitaan yang sama. Bagaimana ini bisa terjadi?
Agenda setting
Ini mengingatkan kita akan teori agenda setting yang menyatakan bahwa
media memiliki kemampuan untuk memengaruhi publik di dalam topik-topik
yang sengaja dipilih. Ada dua basis utama dari agenda setting, yaitu (1)
Media dan pers tidak merefleksikan realitas; tapi mereka memilahnya. 2)
Konsentrasi media terhadap suatu isu memaksa publik percaya bahwa isu
itu penting dibandingkan isu yang lainnya.
Setidaknya, ada beberapa stereotype yang mungkin telah menjadi standar
agenda setting terhadap isu yang berbau keislaman, baik media global
maupun media nasional. Khususnya, dalam Aksi Damai 411 dan 212, beberapa
spot tema yang selalu ada dalam pemberitaan bisa kita rangkum sebagai
berikut:
1) Anarkis. Seluruh aspek acara dalam aksi akan berujung kepada
anarkisme bahkan semenjak acara tersebut belum dilangsungkan. Dalam Aksi
Damai 411 atau 212, misalnya, media-media ini akan berupaya mem-framing
bahwa: a) Sebelum acara diadakan: diprediksi akan rusuh, ada upaya
pelengseran Presiden, peringatan untuk tidak mendekat, serta polisi dan
tentara disiapkan untuk mencegah anarkisme.
b) Selama acara berlangsung: sudut-sudut kecil dari acara akan digunakan
sebagai frame anarki seperti taman yang terinjak, sampah berserakan,
wajah gahar pendemo yang sedang teriak, pendemo yang membawa tongkat
bendera. Media-media ini mendapatkan momentum saat kerusuhan kecil pecah
di malam hari jelang peserta bubar.
c) Sesudah acara berlangsung, framing masih tetap sama, tapi dengan gaya
bahasa yang seolah mengapresiasi seperti The Washington Post yang
memberi judul “Indonesia Blasphemy Protest Draws 200,000; Ends
Peacefully”. Uniknya, media-media nasional justru menggiring isu ini
berbarengan dengan upaya makar.
2) Kelompok radikal. Memaksa pembaca agar percaya bahwa aktivitas
keislaman yang menonjol dan membawa isu besar selalu ditunggangi oleh
kelompok garis keras. Mereka sering menggunakan terminologi conservative
Muslims, hardline, far-right parties, radical, dan sebagainya. Media
ini tidak pernah bisa move on dari labeling terhadap umat Islam.
Labeling adalah salah satu cara untuk mengotakan masyarakat dalam
kelompok-kelompok. Mungkin umat Islam adalah kelompok masyarakat di
dunia yang paling banyak memiliki label; radikal, fundamental,
ekstremis, garis keras, konservatif, moderat, bla bla bla. Ada lagi?
3) Intoleran. Buzzer media sosial dengan enteng menyebarkan isu Aksi
Damai 411 dan 212 seolah memecah-belah bangsa, merusak kebinekaan, dan
anti-Pancasila. Ini adalah isu paling absurd yang disebar oleh mereka
yang justru ingin memecah-belah bangsa.
Parahnya diamini oleh media-media dengan terus memutar isu kebangsaan,
kebinekaan, dan semisalnya. Seolah aksi ini bermasalah dengan itu semua.
Padahal, sampai aksi yang ketiga ini pun tidak ada yang terbukti. Yang
ada, seluruh masyarakat dari Aceh sampai Papua ikut menuntut keadilan.
Ini juga yang dibawa oleh CNN, TIME, dan sebagainya ketika menyebutkan
identitas minoritas dalam narasi pemberitaan mereka. Seolah ada masalah
dengan toleransi.
Media-media ini cenderung mengaburkan esensi dari suatu kejadian dan
mem-framing dengan angle semau mereka—yang bahkan terkadang jauh dari
realita. Framing dan agenda setting adalah kata kunci dari perilaku
media-media ini.
Bagi yang paham isu yang dibawa, mungkin akan mengenyutkan dahi ketika
membaca. Solusinya adalah jangan marah sebab memang begitu mereka
bekerja. Mereka punya hak dan kuasa. Perihal ada yang percaya lalu
menelan mentah-mentah, itu urusan mereka.
Yang bisa dilakukan adalah melawan dengan citizen journalism. Membangun
kesadaran sosial untuk memberikan informasi yang benar melalui media
alternatif yang bisa dipertanggungjawabkan.
Herri Cahyadi, Mahasiswa Doktoral Hubungan Internasional Istanbul University
[beritaislam24h.net / rci]
0 Response to "Framing Media Barat Terhadap Aksi Damai 212"
Post a Comment