
Apa yang digagasnya kini membawa kisah tersendiri. Aksi jalan kaki
tersebut dianggap sebagai salah satu pemicu meledaknya jumlah peserta
aksi yang digelar pada 2 Desember lalu. Setelah aksi jalan kaki para
santri itu, Muslim di wilayah lain pun mengikuti jalan kaki untuk
mencapai Jakarta.
Tak kenal kasta usia, jabatan dan status, aksi jalan kaki yang mulanya
hanya seribuan orang mampu mendongkrak peserta aksi bela Islam di
Jakarta hingga mencapai sekitar tujuh juta orang. Republika
berkesempatan menemuinya di kediamannya di kompleks Ponpes Miftahul Huda
2, Bayasari, Kabupaten Ciamis.
Saat ditemui, KH Nonop terkesan berbeda dengan kiai Ponpes lainnya. Ia
hanya berpakaian santai dengan sarung, baju koko dan kopiah. Tak ada
yang mengira bahwa dialah motor penggerak aksi jalan kaki Ciamis yang
menghebohkan Indonesia.
Keberanian Kiai Nonop menginisasi aksi jalan kaki dilandasi berbagai
faktor. Salah satunya, diakuinya, karena tak ada operator bus yang
bersedia mengantarkan santrinya menunaikan 'jihad' di Jakarta menuntut
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipenjarakan usai berstatus tersangka.
Meskipun, ia mengakui aksi jalan kaki ternyata tak sesederhana itu
alasannya.
Secara garis besar, ia memandang aksi 212 sebagai upaya membangkitkan
Islam di Indonesia yang sebenarnya mayoritas berpenduduk Muslim. Sebab
menurutnya, Islam kini asing dari pemeluknya dengan adanya citra negatif
terhadap Islam itu sendiri.
"Islam padahal mayoritas di Indonesia tapi laksana buih, segala sesuatu
tentang Islam itu disudutkan. Jadi sebenarnya perlu sesuatu sebagai
pemicu bagi kebangkitan Islam di Indonesia," katanya, Rabu (7/12).
Dia juga menilai telah terjadi kriminalisasi dan pemberian stigma
negatif terhadap Islam. Sebab, kasus teror selalu dicitrakan sebagai
tindakan ekstremis Muslim. "Terjadi kriminalisasi simbol dan ajaran
Islam. Misalnya tiap ledakan selalu dikaitkan dengan Islam dan unsurnya
seperti celana comprang, kaum berjenggot dan berbaju koko serta teriakan
Allahuakbar. Padahal saat ada ledakan yang dilakukan non-Muslim kok itu
tidak di blow up?" ujarnya.
Ditekan sejumlah pihak
Saat menginisasi aksi jalan kaki Ciamis, lanjutnya, ia merasakan tekanan
dari berbagai pihak. Pertama, aksi yang hendak dilakukannya dianggap
gerakan 'makar'. Bahkan Kapolri pun sempat mengunjungi Kota Tasik
mengundang pemuka agama di wilayah Priangan Timur untuk meredam suasana
lewat acara doa bersama.
Kedua, tegasnya, adanya pembingkaian negatif dari media, seolah
mencitrakan negatif tentang aksi tersebut. "Landasan aksi jalan kaki itu
karena umat tertekan lewat teror psikologis baik lewat media sekuler
atau media sosial. Sehingga kami pun gagas solusinya untuk mematahkan
citra negatif," ucapnya.
Kiai Nonop tak butuh banyak waktu untuk mulai menggagas hingga
merealisasikan aksi jalan kaki Ciamis. Ide itu terlontar dalam rapat
pada malam Ahad (27/11). Selajutnya ia pun menghubungi pesantren lainnya
di lingkungan Ciamis dan Kabupaten Tasik guna menanyakan keikutsertaan
mereka.
Hasilnya, kata dia, cukup mengagetkan. Ini karena banyak yang meragukan
rencananya. Bahkan tak sedikit yang mencerca idenya sebagai suatu
khayalan saja. "Sempat diragukan karena aksinya spontan cuma dua hari
persiapan. Ada Ponpes dan kiai yang kaget bahkan aksi ini dianggap
khalayan saja," kenangnya.
Akibat spontanitas aksi tersebut, ia mengakui belum sempat meminta restu
kiai-kiai di lingkungan Ciamis. Namun ternyata di luar dugaan, ketika
sudah dijalankan aksi ini justru memperoleh apresiasi para kiai karena
sanggup menunjukkan kebesaran Islam. Tercatat Ponpes Manhajul Ulumm,
Sabilunnajat, Miftahul Huda Usmaniyah, Banyulana, Alhasan, Aljohar dan
Nurul Huda yang ikut menyumbangkan santrinya.
KH Nonop Hanafi (42 tahun), tak pernah menyangka seruannya kepada para
santri membakar semangat para remaja dan pemuda-pemudi lainnya Ciamis,
Jawa Barat. Peran Kiai Nonop tak bisa terpisahkan dari cerita semangat
berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta pada Aksi Bela Alquran Jilid
III, atau yang dikenal dengan aksi 212.
Ditemui di komplek Ponpes Miftahul Huda 2, Bayasari, Kabupaten Ciamis,
KH Nonop menceritakan kembali ihwal seputar long march tersebut.
Mengenai pemilihan peserta aksi jalan kaki adalah para santri, hal itu
tak terlepas dari ingin menunjukkan kekuatan Islam. Ia mengajak seribuan
santrinya yang masih berusia muda agar bisa menginspirasi wilayah lain.
Selain itu, ia menolak mengajak ormas atau kelompok lain di luar
lingkungan Ponpes karena khawatir akan menyulitkan di perjalanan. Ia
meyakini santri sudah mempunyai modal baik fisik dan mental untuk ikut
aksi jalan kaki.
Meski begitu, ia menyebut adanya tudingan bahwa Ponpes justru
menggunakan santri sebagai alat aksi. Mengenai hal tersebut, menurutnya
santri bergerak juga atas keinginannya sendiri membela Islam. Para
santri pun dianjurkan membicarakan keinginannya ikut aksi jalan kaki
pada orang tua sebelum waktu keberangkatan.
"Tentunya beban bawa orang, karena kami harus tanggung jawab. Jadi bawa
santri saja daripada ajak kelompok lain bisa jadi beban, kami yakin
santri siap tempur," tegasnya.
Di sisi lain, ia sempat mempunyai keraguan apakah aksi jalan kaki ini
akan mampu sampai ke Jakarta tepat pada waktunya sebelum 2 Desember.
Tetapi saat itu ia merasa jika tak mampu sampai di Jakarta tepat waktu,
maka pesan dan makna dari aksi jalan kaki sudah sampai yaitu
menginspirasi wilayah lain untuk ikut bergerak.
Sebab ia mengaku miris dengan terjadinya kebekuan gerakan di Indonesia
pascatumbangnya Presiden Soeharto pada 1998. Ia mengatakan pihak oposisi
selalu mengalami tekanan hingga 'dihabisi'. Adapun kelompok mahasiswa
yang menjadi motor gerakan 98 pun dibungkam.
"Hari ini tidak kentara aksi kampus, mereka sudah enjoy dikasih kursi
empuk atau nonton acara di televisi. Jadi kami harap aksi jalan kaki ini
solusi masalah apatisme," ucapnya.
Diketahui, aksi jalan kaki Ciamis dimulai pada Senin, (28/12) pagi
dengan doa bagi keberhasilan perjalanan di Masjid Agung Ciamis. Usai
doa, sekitar dua ribu santriwan dan santriwati menggelar aksi jalan kaki
dengan kedatangannya sore hari di perbatasan Kota Tasik-Ciamis,
Rajapolah.
Keesokan harinya, santriwati dikirim pulang untuk mengistirahatkan fisik
karena akan diberangkatkan kembali menggunakan kendaraan pribadi Ponpes
pada Kamis, (1/2). Sedangkan santriwan melanjutkan jalan kaki dengan
peserta tersisa sekitar 300 orang.
Jumlah peserta aksi terus mengalami pertambahan seiring makin banyaknya
lokasi yang mereka lewati. Dari hanya 300 orang pada Senin, lalu Selasa
malam tiba di Nagrek jumlahnya sudah hampir tiga ribu orang. Ketika
Selasa pagi bergerak menuju Bandung jumlah kembali meningkat hingga
hampir lima ribu orang.
Aksi terus dilanjutkan hingga akhirnya para koordinator aksi sepakat
melanjutkan perjalanan menggunakan bus di Padalarang. Mereka bukan
menyerah tak ingin jalan kaki ke Jakarta, melainkan waktunya tak
mencukupi jika memaksakan jalan kaki.
Ternyata efek domino atas aksi jalan kaki ini sungguh di luar bayangan.
Massa dari berbagai daerah, khususnya Jabodetabek ikut berduyun-duyun
jalan kaki menuju pusat aksi 2 Desember di Monas. Kini aksi jalan kaki
Ciamis dapat dianggap sebagai salah satu fenomena meledaknya jumlah
peserta aksi 2 Desember.
Terlepas dari berbagai stigma negatif yang mendera aksi jalan kaki
Ciamis dari sebelum dimulai berjalan hingga aksi jalan kaki berakhir,
hal itu sudah menjadi bagian sejarah Indonesia.
"Tak dapat dimungkiri, aksi jalan kaki ini jadi inspirasi yang diikuti
daerah lain. Saya yakin yang tadinya ragu-ragu untuk ikut atau bahkan
yang tidak ingin ikut malah berubah hatinya, mereka akhirnya memilih
bergerak bersama kami menunjukan semangat jihad," tutup kiai Nonop.
Oleh: Rizky Suryarandika, Wartawan Republika
[beritaislam24h.net / rci]
0 Response to "Mengenal Sosok Penggagas Long March Ciamis pada Aksi 212"
Post a Comment