
Tapi, kesepakatan itu hanya berlangsung kurang dari 10 tahun karena
Guruh dan Mega kemudian menyatakan diri bergabung dengan PDI. Rachma
berang karena dia berpikir anak-anak Soekarno hanya dijadikan alat untuk
menggaet suara saja. Lagipula kesepakatan di Sriwijaya dilatarbelakangi
pemikiran bahwa tidak ada satu pun partai politik yang memperjuangkan
dan meneruskan semangat marhaenisme, seperti PNI 1952.
Pada Pemilu 1992 Mega dan Guruh hadir di setiap kampanye PDI dan
kehadiran mereka mampu mendongkrak perolehan suara PDI. Dari hanya
memperoleh kursi 40 pada Pemilu 1987 melonjak menjadi 56 kursi.
Sejak itu, Mega masuk ke dunia politik melalui PDI dan terpilih sebagai
anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Di tahun itu pula
perempuan kelahiran 23 Januari 1947 itu terpilih sebagai Ketua DPC PDI
Jakarta Pusat.
Dia terpilih sebagai ketua umum PDI enam tahun kemudian yang kemudian
menyebabkan pemerintah Orde Baru murka dan mendongkelnya dari kursi
ketua umum pada Kongres Medan 1996. Soerjadi yang terpilih dalam Kongres
Medan merebut paksa kantor DPP PDI di jalan Diponegoro 58. Peristiwa
itu kemudian dikenal dengan kerusuhan 27 Juli atau "Kuda Tuli".
Karier politik Mega semakin moncer setelah Orde Baru tumbang. Dia
mendirikan PDIP dan partainya menjadi pemenang Pemilu 1999 tapi Mega
tidak terpilih sebagai presiden. Barulah pada 23 Juli 2001, Megawati
naik menjadi orang nomor satu di Indonesia menggantikan presiden
Abdurahman Wahid.
Sejak Mega dan Guruh, hubungan kelima anak Soekarno itu merenggang
bahkan sampai sekarang. Rachma bahkan secara terbuka menyerang Mega di
media terutama sejak Mega dan PDIP berhasil mengantarkan Joko Widodo
sebagai presiden Republik Indonesia, dua tahun lalu.
"Megawati itu sudah antek kapitalis. Bagaimana konsesi politik dagang,
sumber daya sudah dibagi-bagi dalam pemerintahan Jokowi-JK," kata
Rachmawati..
Menjelang Pilkada DKI 2017, hubungan Rachma dengan Mega dan Sukma juga
kembali memanas. Mega dan Sukma berada di kubu untuk mendukung Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok, sedangkan Rachma mendukung Anies
Baswedan-Sandiaga Uno.
Rachma juga terang-terangan mendukung Aksi Bela Islam untuk menuntut
Ahok diadili. Sebelum Aksi Bela Islam II , 4 November 2016, dia bahkan
mendatangi markas FPI di Petamburan untuk bertemu Habib Rizieq.
Rachma memang berbeda dengan Mega. Sejak Mega dianggap membelot dari
kesepakatan di Sriwijaya, Rachma lebih memilih jalur pendidikan melalui
Yayasan Pendidikan Soekarno. Dia konsisten mengembangkan ajaran Soekarno
melalui jalur pendidikan dan jalur aktivis.
Pada 2002, perempuan kelahiran Jakarta, 27 September 1950 itu mencoba
peruntungan di dunia politik dengan mendirikan Partai Pelopor. Partai
ini sempat mengikuti dua kali pemilihan umum, pada 2004 dan 2009.
Belakangan, Rachma pindah ke partai NasDem tapi dia dipecat karena kerap
mengkritik Jokowi yang saat itu masih menjadi capres. Keluar dari
NasDem, dia pindah ke Partai Gerindra dengan jabatan Wakil Ketua Umum
Bidang Ideologi. Dan setahun belakangan, Rachma aktif mengikuti
beberapa pertemuan aktivis yang mengkritik pemerintahan Jokowi. Karena
kegiataannya itu, polisi menangkapnya dengan tuduhan hendak melakukan
makar, tapi dia membantah tidak mungkin melakukan makar.
Dibandingkan kedua kakaknya yang malang-melintang di dunia partai
politik, Sukma justru lebih asyik menekuni bidang seni. Walaupun,
akhirnya dia mendirikan partai pada 20 Mei 1998 bersama Supeni, tapi
partainya tak tidak lolos ambang batas parlemen. Tanggal 4 Juli 2000,
Sukmawati Soekarno terpilih menjadi ketua partai dan mengubah nama
partai menjadi PNI Marhaenisme.
Nama Sukma kembali menarik perhatian media, setelah Juni lalu dia
melaporkan Habib Rizieq ke Bareskrim. Sukma merasa tersinggung karena
ucapan Rizieq yang menyebut, "Pancasila Soekarno ketuhanan ada di
pantat, sedangkan Pancasila piagam Jakarta ketuhanan ada di kepala" yang
beredar dua tahun lalu dalam rekaman video. [beritaislam24h.net / rnc]
0 Response to "Tiga Putri Soekarno di Pusaran Pilgub DKI"
Post a Comment